Bagian 1

48.4K 1.8K 30
                                    

Di sebuah kafe bernuansa vintage, seorang gadis dan laki-laki duduk berhadapan. Sebuah meja bulat membatasi mereka. 2 piring spaghetti yang sudah kosong dan dua gelas jus yang masih tersisa sedikit seolah tengah mengamati mereka sejak tadi. Harap-harap cemas. Laki-laki itu tampak gelisah. Sedangkan gadisnya hanya memasang wajah lurus tanpa ekspresi yang bisa terbaca.

"Fab, kita harus putus." Sebuah kalimat yang seperti petir di siang bolong untuk si laki-laki baru saja terucap dengan intonasi tenang dari bibir mungil si gadis yang dipulas pewarna bibir merah muda.

"Tapi kenapa May, kenapa tiba-tiba minta putus?"

Setelah beberapa saat laki-laki itu seolah kehilangan separuh kesadarannya, akhirnya dia bisa meluncurkan sebuah kalimat protes dengan tetap berusaha menjaga mimik wajahnya tetap tenang.

"Ya, karena aku mau putus." Gadis itu menjawab dingin sambil menyesap sisa jus jeruknya.

"Kasih aku alasan, May..."

Laki-laki berkemeja putih bergaris biru itu memasang wajah sangat memelas. Tapi seperti bongkahan es, gadis itu tak terpengaruh sedikit pun. Dia duduk di depan wanita yang sangat dia cintai, sudah delapan-bulan-dua-minggu-lima-hari mereka jadi sepasang kekasih. Tapi entah kekasihnya itu kenapa hari ini. Mungkin kepalanya baru saja tertimpuk sesuatu atau hatinya baru saja ketinggalan di mana, tiba-tiba minta putus!

"Kalau aku kasih tahu kamu alasannya mungkin kamu bisa bunuh diri, Fabian. Jadi nggak usah tanya alasannya apa. Pokoknya kita harus putus."

"Maya..." laki-laki itu meraih telapak tangan gadis itu di atas meja, menggenggamnya erat. "Kalau aku ada salah aku mohon maafkan aku. Tapi...."

"Hhh... baiklah, kalau kamu memaksa." Perempuan itu menarik tangannya keluar dari genggaman kekasihnya, ups, maksudnya mantan kekasihnya. Ya, walaupun si lelaki masih belum menerima keputusannya.

"Aku akan menikah!" jawabnya dengan suara pelan namun mantap.

"APA?"

"Tuh kan, sudah kutebak kalau kukatakan alasannya kamu akan histeris begitu. Makanya tadi aku tidak mau bilang."

"Menikah? Dengan siapa? Kenapa tiba-tiba? Jadi selama ini kamu...."

"Ya, menikah dengan tunanganku. Ini tidak tiba-tiba Fab, bahkan sejak aku di dalam kandungan aku sudah bertunangan dengannya. Ya, ini memang terdengar gila! Tapi kumohon maafkan aku dan relakan aku." Maya bangun dari duduknya, "Biar makanan ini aku yang bayar, sebagai tanda perpisahan kita."

Tanpa wajah bersalah sedikit pun karena membuat seorang laki-laki tampan bernama Fabian itu memasang wajah paling frustasi, Maya meninggalkan kafe setelah membayar makanan yang mereka pesan. Fabian masih memandangi gadis cantik yang beberapa jam lalu masih berstatus sebagai kekasihnya. Gadis cantik dengan wajah oriental, berambut panjang lurus yang dicat warna cokelat. Matanya nanar, rasanya masih setengah tidak percaya dengan kejadian tadi. Saat meminta untuk bertemu, gadis itu masih sangat manis dan manja. Bagaimana mungkin berubah secepat itu? Kini gadis itu seperti orang lain yang tak pernah dikenalnya.

Maya, gadis yang sudah dia kejar sejak tiga tahun lalu akhirnya bisa jadi kekasihnya sejak delapan bulan dua minggu lima hari yang lalu. Dan sore ini dia harus melepasnya begitu saja. Dengan alasan paling mengejutkan yang pernah didengarnya, dia akan menikah!

Gadis itu masuk ke dalam mobil sedan warna merah, menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan areal parkir kafe. Kafe yang menjadi saksi pertama kalinya Fabian menyatakan cinta padanya, sekaligus saksi saat dia memutuskan hubungan cinta dengan Fabian. Sebenarnya bagi Maya, Fabian adalah cowok yang sangat baik, romantis, pengertian, dan tentu saja keren. Dari semua mantan pacarnya, Fabian yang paling bisa membuatnya nyaman. Tapi apalah daya, dia harus memutuskannya hari ini. Jika terlalu lama, Fabian hanya akan semakin sakit hati saat dia memutuskannya. Karena cepat atau lambat Fabian memang harus menjadi 'mantan kekasihnya'.

Begitulah. Tentang cinta, kadang datang seseorang yang tepat tapi bukan di waktu yang tepat.

**

Maya baru saja menyelesaikan kuliahnya, dan diwisuda beberapa minggu lalu. Di usia 21 tahun dia sudah jadi sarjana muda di bidang sastra. Otaknya yang encer dan masuk sekolah dasar terlalu cepat--karena Ibunya yang terlalu ambisius ingin buru-buru melihat anaknya mengenakan seragam putih-merah--membuatnya berhasil lulus lebih cepat dari teman-teman seumurannya. Maya suka menulis, beberapa novelnya sudah diterbitkan dan laris manis. Dia memilih genre horor untuk novel-novelnya. Sebenarnya dia pun sangat ingin menulis novel romantis, apalagi genre novel itu sedang laris di pasaran. Tapi... entah mengapa dia merasa tidak bisa.

Sejak kecil ibunya selalu mengingatkannya tentang rencana pernikahannya dengan anak seorang Dokter. Itu menjadi salah satu alasan hati Maya tertutup rapat-rapat untuk sesuatu yang bernama cinta. Meski sudah beberapa kali berpacaran tapi dia tak pernah benar-benar merasakan jatuh cinta, begitu juga pada Fabian kekasih terbaiknya selama ini. Baginya pacaran hanya menambah pengalaman, agar dia tidak menyesal kelak setelah menikah karena tidak pernah merasakan pacaran. Tentang cinta? Ah, memangnya masih diperlukan ya? Toh, jatuh cinta atau pun tidak dia akan tetap dinikahkan dengan laki-laki yang bahkan hingga saat ini pun dia tak tahu wajahnya seperti apa.

Jam tujuh malam, nasi di atas piring Maya sudah habis. Ibunya menuangkan lagi air putih ke gelas ayahnya yang kosong. Maya masih merasa sedikit lapar, mengambil sepotong kroket kentang dan langsung mengunyahnya dengan semangat.

"Kamu tuh, sudah mau menikah kok makannya nggak dijaga sih, May? Kalau jadi gemuk gimana nanti pas ketemu calon suamimu? Gaun pengantinmu nanti nggak muat lho!" Ibunya mulai ngomel lagi karena Maya yang suka seenaknya. Padahal berat badan Maya bisa dibilang ideal. Meski beberapa bulan belakangan pipinya memang mulai sedikit gemuk. Setelah lulus kuliah dia lebih banyak di rumah, menjadi penulis freelance. Meski tidak kerja kantoran upahnya lumayan kalau sedang banyak orderan. Uang dari novel-novelnya yang sudah terbit dan beberapa kali cetak ulang pun sudah lebih dari cukup untuk membiayai hidup sehari-harinya.

Maya hanya membalas kata-kata Ibunya dengan cengiran seadanya sambil terus mengunyah. Dia sudah terbiasa dengan sikap Ibunya tersebut. Ya, biar saja, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Kalau sudah bahas soal pernikahan dan calon suaminya itu Ibunya sering lupa daratan dan terlalu semangat.

"Apa nggak terlalu buru-buru, Bu? Maya kan baru 21 tahun. Masa sudah harus menikah?" Ayah mulai menyela. Pada dasarnya Ayah Maya tidak terlalu setuju dengan rencana pernikahan ini. Ayah Maya ingin anaknya menikah dengan laki-laki yang dia cintai bukan laki-laki pilihan Ibunya. Tapi masalahnya, sampai sekarang Maya belum pernah benar-benar jatuh cinta. Mungkin lebih tepatnya dia tidak tertarik jatuh cinta.

"Buru-buru apa sih, Yah? Ayah lupa ya, Ibu saja menikah sama Ayah umur 19 tahun?"

"Ya, itu kan dulu... sekarang zamannya sudah berubah, Bu."

"Apanya yang berubah, Yah? Matahari masih terbit di timur, suara kucing juga masih meong-meong. Nggak ada yang berubah."

Ayahnya hanya bisa menggeleng, Maya menatap Ayahnya sambil ikut menggeleng prihatin, lalu mereka sama-sama menahan tawa. Begitulah Ibu Indira, seorang Ratu yang tak bisa dibantah di rumah mungil ini. Debat dengannya hanya akan buang-buang tenaga. Karena Ibulah yang selalu benar, itu peraturan tak tertulis dalam keluarga ini. Sebenarnya bukan karena Ayah Maya tipe yang tak bisa apa-apa, tapi karena terlalu mencintai Ibunya itu Ayahnya lebih banyak mengalah dan mencoba mengerti watak Ibunya.

"Omong-omong kamu sudah putusin si Fabian itu kan?" Ibu mulai lagi.

"Sudah. Tadi sore."

"Padahal Ayah suka lho sama Nak Fabian itu, anaknya sopan dan..."

"Ah, Ayah sih selalu suka semua pacarnya Maya."

"Sudah ah, pusing deh dengar kalian berdebat mulu. Padahal dulu kalian menikah nggak dijodohkan ya? Bagaimana nasibku nanti ya? Mungkin setiap hari harus tembak-tembakan dan saling lempar bom di dalam rumah."

"Kalau begitu Ibu akan siapkan jaket antipeluru untukmu dan suamimu. Oh ya, soal persiapan pernikahan semua sudah oke. Pernikahannya hari Minggu depan!"

"APA??" Maya dan Ayahnya hampir saja memuntahkan semua makanan yang sudah kami telan, saking terkejutnya.

-- bersambung --



Selamat Datang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang