Bagian 21 - end -

39.4K 1.4K 88
                                    


Hari ini Maya minta dibuatkan sayur asam dan sambal terasi kesukaannya. Meskipun Ibunya jago masak, tapi bagi Maya belum ada yang bisa menandingi sedapnya sayur asam dan sambal terasi buatan Bi Inah. Apalagi Satya, yang cuma terobsesi dengan makanan keren luar negeri yang kadang nama masakannya saja susah Maya ingat. Pagi-pagi sekali, Maya menemani Bi Inah ke pasar. Membantu wanita paruh baya itu membawa plastik belanjaannya sambil berbincang-bincang.

"Sudah dua minggu lho Neng di sini."

"Kenapa Bi, Bibi nggak suka ya aku di sini?"

"Aduh, bukan begitu atuh Neng. Cuma ya agak aneh saja. Neng Maya kan sudah menikah, masa menginap di villa keluarga sampai dua minggu begini sendirian. Sudah begitu Bibi nggak boleh kasih tahu Ibu sama Bapak."

"Mereka juga nggak ada yang nanya Bibi kan, jadi ngapain kasih tahu."

"Iya Neng, kan mereka tahunya Neng Maya sama suami baik-baik saja. Kalau ada masalah ya dibicarakan Neng. Maaf, bukan Bibi sok tahu. Cuma.... Aduh gimana ya, Bibi ya senang Neng Maya di sini nemani Bibi. Ingat masa-masa kecil Neng Maya itu Bibi yang asuh. Tapi kalau sudah jadi istri orang begini kan nggak baik Neng."

"Iya Bi, aku ngerti. Aku cuma butuh waktu buat ngumpulin keberanian aku dulu, lalu bicara ke Ayah dan Ibu. Bibi tenang aja, Bibi nggak akan disalahin Ayah kok karena ngebiarin aku ngumpet di villa. Hehe...."

Tampak Bi Inah menghela napas berat. Bi Inah memang nggak suka mendebat Maya yang sudah dianggap anaknya sendiri. Sejak Maya masih di dalam kandungan Bi Inah sudah tinggal bersama keluarga mereka. Saat Maya lahir Bi Inah yang ikut mengasuhnya karena saat itu kondisi Ibu Maya masih kurang sehat akibat operasi transplantasi hati. Maya tahu niatnya baik, Bi Inah menasihatinya seperti itu seperti sosok seorang Ibu yang menyayangi anaknya.

Tapi sekarang dia hanya sedang butuh waktu untuk menyendiri. Sembunyi dari hiruk-pikuk kota besar. Di sebuah pedesaan yang damai, di daerah Garut. Villa keluarga ini biasanya hanya ditempati saat libur lebaran saja, jika hari biasa kadang disewakan. Bi Inah yang menjaga villanya bersama dua orang tukang kebun yang juga merangkap satpam.

"Omong-omong Neng, kemarin itu ada cowok yang nelepon ke villa. Cuma kan Neng Maya bilang jangan bilang siapa-siapa jadi Bibi bilang Neng Maya nggak ke sini."

"Siapa Bibi? Bayu?"

"Bibi lupa nanyakan namanya, karena teleponnya langsung ditutup. Suaranya sih masih muda. Mungkin suami Neng Maya?"

"Nggak mungkin Bi, dia nggak akan tahu aku di sini."

Bi Inah hanya diam menatap raut wajah Maya yang entah mengapa merasa sedih.

"Koran... koran... koran paginya Teh, dua ribu aja."

Masih di lingkungan pasar, seorang anak laki-laki usianya sekitar sepuluh tahuh membawa tas berisi koran dan majalah menghampiri Maya. Tiba-tiba dada Maya terasa sakit. Anak sekecil itu sudah harus bangun pagi-pagi dan berjualan di pasar. Entah kenapa ada rasa sedih yang menusuk dadanya. Dia teringat seandainya saja dia bisa punya seorang anak suatu hari nanti, pasti dia akan sangat bahagia. Tapi harapan itu sudah lenyap. Apalagi sekarang dia sudah benar-benar memutuskan untuk melepas Satya selamanya. Meskipun belum ada proses cerai. Menikah lagi apalagi dengan laki-laki lain, bukan sesuatu yang ada di pikirannya. Terlebih vonis dokter tentang rahimnya yang mengalami masalah dan kemungkinan tidak bisa hamil, terus menghantui pikirannya.

"Ada majalah kuliner juga nih, Teh. Cocok buat si teteh, sepertinya pintar masak ya?" Si anak kecil laki-laki itu tampak tertawa dengan senyum ceria dan ramah, sambil menyodorkan sebuah majalah ke arah Maya.

Selamat Datang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang