Prolog

88.2K 3.4K 39
                                    

Malam itu, hujan turun semakin deras, membasahi jalanan kota Ontario. Bulir-bulir air kian berjatuhan membuat tetesan-tetesan itu mengeluarkan ritme yang sama. Suara gemuruh petir kian menggelegar bersamaan dengan kilat yang berkilauan menerangi malam.

Ia berlari dengan langkah gontai. Tubuhnya menggigil kedinginan akibat air hujan yang turun kian menghantam tubuhnya. Namun ia tidak peduli, yang ada dipikirannya saat ini hanyalah ia harus terus berlari dan menambah kecepatannya, tidak ingin lagi menyaksikan pemandangan yang kian menyayat hati. Berharap bulir-bulir air hujan yang kian menerpa tubuhnya dapat membawa pergi rasa sakit dan sesak di dada.

Tidak peduli seberapa keras orang itu menyerukan namanya. Memanggil dan memintanya untuk berhenti. Ia tidak peduli lagi. Ia tidak perlu lagi mendengarkan penjelasan apapun. Baginya semua kejadian yang baru saja terjadi sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

Napasnya sesenggukan, kedua matanya memerah akibat air mata yang kian mengalir bersaman dengan air hujan yang meliuk-liuk di pipi mulusnya.

Ia masih saja berlari, hingga satu genggaman keras mendarat di lengannya, membuatnya harus menghentikan langkah. Genggaman itu menghentakkan tubuhnya untuk berbalik secara paksa.

Ditatapnya lurus-lurus manik mata laki-laki di hadapannya. Laki-laki yang sangat ia sayangi. Namun kini rasa sayang itu telah hancur berkeping-keping, rasa itu telah tandas semenjak ia menyaksikan kejadian yang sedikit demi sedikit telah membunuh hati dan jiwanya. Kini bukan lagi kasih sayang yang terpancar dari kedua iris mata itu. Namun kebencian, kemarahan, jijik dan kecewa.

Dihentakkan lengan itu dengan keras agar genggamannya terlepas. Kemudian ia melangkah mundur.

Selangkah, dua langkah.

Penampilan lelaki itu terlihat kacau. Napasnya memburu seolah beradu dengan derasnya air hujan yang turun, rambut pendeknya turun menutupi setengah dahi karena basah, bulir-bulir air hujan yang mendarat di wajahnya mengalir hingga ke dagu dan menetes-netes. Kedua bola mata itu bergerak gelisah, menatapnya dengan binar penyesalan juga merasa bersalah.

"Kumohon dengarkan penjelasanku dulu, please. Ini tidak seperti yang kau kira--"

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi kanannya, membuat ucapannya terhenti kala itu juga.

Berusaha mengatur napasnya yang tersengal akibat menangis dan menggigil kedinginan, ditatapnya laki-laki itu dengan pandangan tak percaya, lantas menoleh ke arah lain, ke arah perempuan yang berdiri di belakangnya.

Perempuan yang sangat ia percayai, perempuan yang menyandang nama belakang yang sama dengannya.

Perempuan itu menatapnya dengan tatapan datar, seakan tidak memiliki perasaan bersalah sedikitpun di wajahnya.

Lalu kedua matanya beralih memandang lelaki itu lagi. Dengan bibir yang bergetar akibat kedinginan ia berusaha untuk berkata-kata. Ia berusaha untuk berbicara.

"I don't believe this," bisiknya lirih seraya menatap keduanya bergantian. Dihapusnya kasar air mata yang telah bercampur dengan air hujan menggunakan punggung tangan. "Aku tidak percaya, kedua orang yang sangat aku sayang dan kupercayai ternyata mengkhianatiku dengan cara seperti ini."

Dihampirinya perempuan itu dengan langkah gontai dan tubuh yang bergetar karena kedinginan. Lalu di tatapnya manik mata itu lekat-lekat. "Kenapa?" Tanyanya dengan suara yang penuh isak.

Tidak ada jawaban yang terdengar.

"Jawab aku."

Belum juga ada jawaban.

"Kenapa kau melakukan hal ini padaku?"

Our Little Secret [S.M]Where stories live. Discover now