Bagian 3

2.8K 122 1
                                    

Pagi ini aku sengaja masak sarapan lebih banyak, meski cuma sup udang dan omelete. Semoga aja dia suka. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena kemarin dia sudah membantuku saat aku didekati cowok-cowok berandalan di tempat penjual bakmi. Meski aku agak takut, karena pasti wajah galaknya itu akan menolak sarapan dariku. Tapi tak akan tahu kalau belum dicoba. Lagipula kita perlu membuat hubungan baik dengan sesama tetangga kan. Tidak tahu kalau suatu hari aku butuh bantuannya. Aku juga perlu minta dia buat tetap merahasiakan keberadaanku di sini. Aku bosan kalau harus pindah-pindah apartemen lagi.

Aku membawakan menu sarapan buatanku dalam sebuah kotak makan ke apartemennya. Aku menekan bel beberapa kali tapi tidak ada respon. Setelah berdiri kira-kira lebih dari dua menit aku coba membuka pintunya. Ternyata tidak terkunci. Ceroboh banget!

"Hallo... ada orang, kah? Aku masuk ya? Hei, cowok tetangga sebelah. Kamu ada di rumah? Masih tidur ya?" 

Aku masuk ke dalam apartemennya. Cukup rapi untuk ukuran cowok. Melihat gaya pakaiannya yang seenaknya aku pikir apartemennya akan mirip kapal pecah, tapi aku salah. Beberapa furnitur tertata rapi, membuat ruang tengah mungilnya tampak luas. Aku berkeliling sebentar, tapi tetap tidak menemukannya di mana pun. Setelah meletakan kotak makanan yang kubawa di meja makannya, aku melihat sebuah pintu dengan desain mirip papan catur, mungkin itu kamarnya.

Rasanya memang tidak sopan masuk begitu saja, tapi salah sendiri, kenapa dia tidak mengunci pintu apartemennya? Tanganku siap-siap mengetuk pintu kamarnya tapi belum sempat jariku menyentuh pintunya, pintu kamar itu terbuka. Keluar seorang laki-laki dengan handuk melingkar di pinggang.

"Aaaaa....!" Aku refleks menjerit, memejamkan mataku kuat-kuat dan menutup wajahku dengan dua telapak tanganku.

"Aku nggak telanjang, kenapa harus merem segala? Bukannya dalam film banyak adegan seperti ini. Selain menyanyi kamu main film juga, kan? Masa nggak pernah ada adegan seperti ini?" 

Aku sempat meregangkan jari-jariku sebentar tapi ternyata di balik handuknya dia sudah memakai celana pendek. Dia terus saja mengoceh sambil sibuk memakai pakaiannya tanpa menutup pintunya dan tetap membiarkan aku di depan kamarnya.

"Kamu ngintip ya? Dasar artis ngeres."

Saat aku membuka mataku wajahnya tepat berhadapan dengan wajahku. Aku mundur beberapa langkah karena terkejut.  

Dia melotot galak ke arahku, "Kamu! Gimana bisa masuk sini?" Dia menunjuk ujung hidungku plus tatapan matanya yang tajam menyelidik.

"Kamu nggak kunci pintunya, aku masuk aja."

"Nggak sopan. Main masuk rumah orang yang bahkan namanya aja kamu nggak tahu."

"Kan udah aku bilang, pintunya nggak dikunci. Lagipula tadi aku sudah tekan bel beberapa kali kok. Tapi nggak ada yang buka. Ya udah, aku masuk aja."

"Alasan. Aku lupa kunci pintu bukan terus ngizinin kamu masuk, kan?"

"Oke, oke, oke, aku salah. Aku minta maaf. Aku nggak akan ngulangin hal kayak gini lagi. Maaf."

Dia menuang segelas susu cair dari kulkas. Sekilas aku melihatnya menatapku dan tersenyum kilat. Aku hampir tidak percaya melihatnya tersenyum. Mungkin ini pertama kali aku melihatnya tersenyum, meski cuma senyum kecil dan sangat kilat.

"Kamu mau ngapain? Minta anter beli bakmi lagi?"

"Nggak."

Aku memberanikan diri mendekat ke arahnya yang sekarang duduk di salah satu kursi meja makannya. "Aku buatin sarapan."

"Sarapan? Ini? Kamu yang masak?" Dia menarik kotak makanan yang kubawa.

"Iya. Mudah-mudahan kamu suka."

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang