Bagian 7

2.5K 125 14
                                    

Sudah seminggu ini aku tak pernah bertemu si cowok tetangga sebelah, Rama. Biasanya dalam sehari minimal sekali aku akan berpapasan dengannya di depan pintu apartemen. Apakah dia sudah tidak tinggal di sini? Setiap pagi sebelum berangkat syuting aku sempatkan menekan bel atau mengetuk pintu apartemennya tapi tidak pernah terbuka.

Semalam aku mendengar sayup-sayup suara musik dari apartemennya, berarti dia ada di rumah. Tapi, sudah hampir setengah jam aku mondar-mandir di depan pintu apartemennya. Duduk, berdiri, duduk lagi, menunggunya. Masih belum ada hasilnya. Tak peduli berapakali pun aku menekan bel dia tak pernah keluar. Aku bertekad hari ini aku harus bertemu dengannya!

Aku menunggunya seperti orang bodoh sore ini. Setelah menunggu hampir satu jam, penantianku terbayar sudah. Tampak Rama dan Mbak Mawar datang.

"Lho, ada Shinta? Ada apa Shinta?" Dengan ramah Mbak Mawar menyapaku.

Tapi Rama cuek saja, seolah tak melihatku. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah terakhir kali di depan lift saat pertemuan keluarga itu.

"Rama, ada Shinta kok kamu diam aja?"

"Rama marah sama Shinta Mbak."

"Nggak usah bikin gosip!" Akhirnya dia bicara meski dengan nada ketus berkali-kali lipat dari biasanya. Mbak Mawar mengernyitkan keningnya menatapku mencari penjelasan. Aku menggigit bibir bawahku memasang wajah sedih lalu mengangguk lemah.

"Ayo Mbak, mau masuk atau di luar aja?"

"Iya, iya, tunggu!"

Mbak Mawar memberikaku selembar kartu nama dan memberi isyarat untuk menelepon dengan jari kelingking dan ibu jarinya yang ditempelkan ke telinga.

Aku menjawabnya sambil tersenyum. Dia sempat menepuk lembut pundaku sebelum masuk.

Malamnya aku mencoba menelepon Mbak Mawar. Setelah aku ceritakan semuanya, Mbak Mawar sesekali tertawa dan sesekali menceritakan sifat-sifat Rama padaku. Beruntung aku bisa ngobrol banyak dengannya. Dia bilang Rama memang tipe orang yang emosional dan tidak mudah dibujuk. Tapi Mbak Mawar janji akan membantuku.

##

Jam empat sore, Nala memelankan laju mobil sambil matanya siaga melihat nama-nama jalan di gang kecil dan memerhatikan plat nomor di setiap gerbang rumah.

"Jalan Seruni nomor 17." Aku mengingatkannya.

"Duh, kayaknya kita udah dua kali muter-muter di sini deh. Ini kompleks kok nggak ada satpamnya?" Nala mulai mengomel karena kesulitan menemukan alamat yang dituju. "Coba telepon Rama deh. Minta jemput kita di mana gitu."

"Loh, kalau begitu, dia malah nggak mau nemuin aku. Ini alamatnya benar kok. Semalam aku dapat dari Mbak Mawar."

"Ya, kalau gitu coba telepon Mbak Mawar. Ini apa-apan sih, kamu yang jatuh cinta, aku yang repot!"

"Ah, itu, itu! Rumah cat abu-abu. Depannya ada tulisan Sekolah Musik Bramadirja, itu kan namanya Om Bram."

"Ah, akhirnya ketemu juga. Lagian aneh sih kok sekolah musik ada di kompleks begini?"

"Lokasi ini Rama dan Mbak Mawar yang pilih, dulu nggak di sini. Mbak Mawar bilang biar lebih tenang dan nyaman gitu jadi pilih di area perumahan."

"Oh gitu, tapi kayaknya sepi ya? By the way, beneran kamu nggak mau aku tungguin? Nanti pulangnya gimana?"

"Rama pasti anterin aku pulang."

"Hm... oke."

Aku membuka seat belt dan keluar dari mobil. Dari depan pintu terlihat senyuman ramah Mbak Mawar menyambutku. Tangannya melambai memberi isyarat untuk aku menghampirinya.

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang