Bagian 9

2.3K 118 6
                                    

"Dia menelepon...!" Aku langsung melompat ke kasur tempat benda mungil berwarna pink itu berdering. Tanpa melihat nama yang tertera aku langsung tahu panggilan masuk itu dari Rama, karena aku memberinya nada dering berbeda.

"Halo...."

"Kamu di mana? Aku sudah nunggu hampir setengah jam lebih. Janji jam berapa kemarin? Jadi nggak sih? Kalau nggak jadi mending batal aja selamanya. Kamu pikir kerjaanku cuma nunggu kamu aja?"

"Aduh, cara anggkat telepon di Austria gitu ya? Nggak pakai halo dulu langsung marah-marah? Iya, aku lagi siap-siap kok. Sebentar lagi aku ke apartemen kamu."

"Siap-siap? Apartemenku di sebelah apartemenmu, siap-siap ngapain?"

"Laki-laki nggak akan ngerti! Sabar ya!" Klik telepon kumatikan, dan aku kembali ke depan lemari. Baju apa yang harus kupakai? Apakah baju yang kupakai sudah pas? Hm... bagaimana kalau ditambah cardigan ungu gelap ini? Mungkin jadi lebih manis. Ah tapi....

Nada dering yang sama berbunyi lagi.

Rama calling...

"Halo...."

"Halo. Atau aku aja yang ke tempatmu?"

"Nggak, aku udah siap kok, ini sudah di depan pintu."

"Oh, ya? Aku juga lagi di depan pintu apartemen. Kamu di depan pintu yang mana?"

Mati aku!

Aku buru-buru menutup pintu lemari dan dengan terburu-buru berlari ke luar kamar menuju pintu depan. Tak lupa mengambil sebuah bungkusan yang kuletakan di meja makan. Aku sudah menyiapkan ini sejak siang tadi. Saat aku membuka pintu, mata tajam itu siap menusukku. Dia berdiri tepat di depan pintu apartemenku, matanya menatap tajam, tangan kanannya memutar-mutar sebatang rokok yang belum dinyalakan. Kaos lengan panjang warna hitam dan celana pendek warna senada.

"Di depan pintu kamar mandi, maksudmu?"

"Hehe...maaf...."

"Kamu mau ke mana?"

"Ke apartemenmu, belajar musik. Kamu pikir mau ke mana lagi? Kamu lupa ya?"

"Kita mau belajar musik bukan mau makan malam di restoran! Kayaknya kamu yang lupa." Dia menarik lenganku saat aku masih merasa kikuk. Aku baru sadar pakaianku sedikit agak berlebihan untuk alasan hanya datang ke apartemen tetangga sebelah dalam rangka belajar musik.

Aku masuk ke apartemen ini untuk kedua kalinya. Yang pertama masuk tanpa izin pemiliknya, sekarang masuk sambil digandeng—ah, oke ditarik dengan kasar oleh si pemilik apartemen. Bagian dalam apartemen tampak rapi sama seperti saat pertama aku masuk ke sini. Rama mengajakku ke lantai dua. Ini pertama kalinya aku menaiki tangga apartemennya.

"Ruang musiknya ada di lantai dua."

Dia menoleh ke arahku sebentar lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Aku mengikutinya dari belakang. Kami sampai di sebuah pintu bercat hitam. Rama membuka pegangan pintunya. Ruangan berisi berbagai alat musik yang tampak nyaman. Di sinikah biasanya Rama bermain musik yang kadang terdengar hingga ke apartemenku?

Sebuah sofa warna marun ada di pojok ruangan, "Duduk di sana. Aku ambilkan minuman."

Tak beberapa lama kemudian dia kembali dengan dua gelas berisi air dingin.

"Cuma ada air putih."

"Nggak masalah, aku bawa camilan buat kita kok. Taraaaa....! Opera Cake ala Shinta! Aku bikin sendiri lho." Aku mengambil pisau kue yang sengaja kubawa dari dapurku, aku pikir laki-laki seperti dia tidak akan punya pisau kue. Aku memotongnya jadi beberapa bagian. 

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang