Bagian 13

2.3K 107 6
                                    

Tidak bisa dibilang aku sudah benar-benar melupakan Rama, tidak. Benar kata Nala, melupakan adalah tidak mungkin untuk sesuatu yang pernah hidup dalam harapan dan kenangan kita sekaligus. Tapi setidaknya setelah enam bulan berlalu, aku mulai bisa kembali melakukan semua rutinitasku dengan baik lagi. Aku mulai pelan-pelan terbiasa dengan ketidakhadiran Rama, meski rindu sialan itu masih sering menggedor-gedor hatiku. Kini aku tinggal bersama Nala di rumahnya.

Aku seperti menghilang, aku mengganti nomor ponsel dan mewanti-wanti bunda dan ayah untuk tidak memberikan nomor ponselku pada Rama dan Mbak Mawar. Bunda dan ayah pun sudah tahu Rama akan menikah dengan wanita lain, dan mereka mengerti keadaanku sekarang. Bahkan beberapakali mereka mengenalkanku dengan anak laki-laki teman mereka. Beberapa kali aku sempat melakukan kencan buta dengan beberapa anak pengusaha kenalan ayah, tapi tak satu pun yang bisa membuat hatiku bergerak seperti saat Rama mulai memasukinya.

Aku memutuskan untuk hidup seperti ini dulu. Menyendiri, bukan hal buruk sambil terus berusaha menata hatiku. Mungkin sekarang Rama sudah bahagia dengan Falia. Aku sungguh ingin ikut bahagia, seperti kebanyakan karakter dalam film-film romantis atau novel-novel percintaan. Merelakan sepasang kekasih yang saling mencintai hidup bahagia, dan sebagai orang ketiga yang ditakdirkan takkan merasakan cinta yang terkabul aku menerimanya dengan hati terbuka. Aku tidak bisa! Aku tidak bisa pura-pura bahagia membayangkan mereka bersama.

"Ta! Kalau wallpaper dinding yang ini dan yang ini lebih bagus mana?"

"Ah, apa?"

"Ih, kamu ngelamun ya? Ngelamunin apa sih?"

"Nggak... aku cuma lagi mikir... mau makan siang apa nanti. Hehe... sudah hampir jam dua belas nih. Belum selesai juga milih-milih perlengkapan buat kafe baru kamu?"

"Oalah... makanan mulu! Makanya bantu aku pilih wallpaper buat di kafe. Abis ini kita makan siang. Aku traktir!"

"Oke, aku pilih yang ini! Ini lebih keren, nuansanya terasa adem. Cocok buat kafe kamu yang bergayya vintage."

"Ah, selera kita memang sehati. Aku juga lebih suka ini!"

Nala sedang sibuk mempersiapkan kafe barunya. Dia dan Gio berencana membuka sebuah kafe di daerah Jakarta Selatan. Sejak dulu selain sebagai penggemar Drama Korea Nala memang terkenal kutu buku. Dia punya satu kamar sendiri di rumah yang isinya novel dan buku-bukulainnya. Punya sebuah kafe buku adalah impiannya sejak masih di SMA. Beruntung calon suaminya, Gio, sangat mendukung keingannya untuk membuat kafe buku sendiri. Kisah cinta Nala benar-benar sudah happy ending dia bertemu laki-laki yang baik, yang mencintainya, dan selalu mendukung mimpi-mimpinya.

"Jangan lupa Ta, nanti kamu nyanyi ya di pembukaan kafe baru aku."

"Iya, siap Bu Manajer!"

"Duh, aku hampir lupa. Aku harus mampir ke rumah sakit."

"Eh, ngapain? Siapa yang sakit?"

"Nggak ada yang sakit. Aku cuma mau ambil tes laboratorium. Kan sebelum nikah ada beberapa tes kesehatan. Nah, tadi pagi aku dapat telepon dari rumah sakit hasil lab sudah keluar."

"Ah, nggak terasa ya pernikahanmu dan Gio sudah di depan mata."

"Iya. Deg-degan. Tapi berkat kamu aku nggak kerepotan ngurus macam-macam. Enam bulan ini kamu banyak banget bantuin aku. Dari pilih gaun pengantin, cari seserahan, sampai kasih rekomendasi gedung resepsi. Belum lagi soal kafe. Duh, makasih banget ya Ta!"

Aku tersenyum. Melihat wajah Nala yang selalu berbinar-binar setiap membahas soal pernikahan dan kafe barunya, aku tentu ikut bahagia.Tapi kadang ada sedikit rasa sakit menyelinap dalam hati. Hati yang tak tahu malu ini, masih saja kadang terbersit soal Rama.

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang