Bagian 15

5K 196 26
                                    

Kami sampai di tempat yang Rama bilang spesial itu. Tanah lapang yang seperti perbukitan, dari sini tampak jajaran kota seperti miniatur. Ada beberapa kunang-kunang yang terbang di antara semak ilalang. Aku tak pernah tahu ada tempat seperti ini di sekitarJakarta. Dari sini bintang-bintang yang biasanya sembunyi karena lampu kota, tampak terang dan banyak. Rama berdiri di sebelahku. Sudah beberapa saat kami berdiri tapi tak satu pun yang memulai percakapan.

"Kenapa mengajakku ke sini?" Setelah menatap wajahnya dari samping aku memberanikan diri menyapanya duluan.

"Shinta... maaf." Wajahnya masih belum menatapku.

"Maaf?" Aku berusaha menangkap ekspresi di wajahnya.

"Selama ini pasti aku sudah banyak membuatmu susah."

"Memang. Tapi... sudahlah nggak apa-apa, aku coba mengerti keadaannya." Entah karena suasananya yang nyaman dan tenang, pikiranku yang tadi berantakan tiba-tiba merasa lebih dingin saat menghirup aroma tanah dan rumput basah di sini. "Ah, Falia apa kabar? Kandungannya sehat?" Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat lemah.

Yang sejak tadi dia terus menatap lurus ke depan, kini dia memalingkan pandangannya dan menatap ke arahku. "Katanya, kalau perempuan bilang nggak apa-apa itu artinya dia ada apa-apa."

"Nggak kok, aku betulan nggak apa-apa." Aku tak berani menatapnya, dia menyentuh lembut pipiku, memaksaku memandangnya.

"Tanyakan apa pun yang ingin kamu tanyakan padaku. Aku akan menjawab semuanya sekarang."

"Eh? Aku...."

Dia menarik lenganku dan kami duduk bersebelahan beralaskan rumput yang sedikit basah. Matanya menatap ke arah langit. Aku menatapnya dari samping, pipiku terasa hangat. Apakah ini semacam perpisahan sebelum dia benar-benar menikah dengan Falia?

"Ng... aku bingung mau tanya apa?" Sebenarnya begitu banyak pertanyaan yang berdesakan hingga aku tak tahu pertanyaan mana dulu yang harus kutanyakan padanya. Pertanyaan yang paling mengganggu adalah, 'apakah kamu mencintai Falia?'. Tapi tentu saja itu pertanyaan paling konyol dan terlalu retoris.

Mata yang biasa menatap dengan tatapan dingin dan galak itu melembut dan menatapku beberapa detik, sebelum akhirnya dia bicara. "Saat umurku tiga belas tahun, aku mengalami kecelakaan di Austria. Aku berhenti sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Mbak Mawar dan ayah yang menemaniku sambil mengajarkanku bermain musik. Aku... buta."

"Buta?"

"Ya, selama... beberapa tahun. Bohong kalau aku nggak pernah mencoba mencarimu selama dua belas tahun, Bohong kalau aku nggak pernah memikirkanmu sedikit pun. Tapi saat itu, aku merasa lebih baik kita nggak saling berkomunikasi lagi, kamu pasti akan merasa aneh dengan aku yang saat itu bahkan melihat wajahmu saja tidak bisa. Suatu hari ayah dapat kabar dari ibumu kalau kamu mulai jadi penyanyi remaja. Aku sangat ingin bisa melihat wajahmu, melihatmu menyanyi, tapi tentu saja mustahil dengan keadaanku waktu itu. Mbak Mawar membantuku mencarikan beberapa lagu yang kamu nyanyikan, aku mendengarkannya beberapa kali setiap aku mengingatmu."

Jantungku terus berdegup semakin tak menentu mendengar penuturannya kata per kata. Wajahnya tampak serius meski tak sedang memandangiku. Aku membekap mulutku menahan tangis. Selama ini begitu aku sangat egois, menganggap diriku satu-satunya yang paling menderita.

"Itulah kenapa aku bisa mengenalimu. Bukan dari wajahmu tapi dari suaramu. Di bandara, aku melihat seorang gadis yang sedang menelepon temannya. Aku merasa suaramu nggak asing, dan saat itu juga aku yakin kalau kamu adalah Shinta. Maaf karena selama ini terus-terusan menyalahkanmu soal ini. Seandainya aku nggak pernah buta mungkin aku juga nggak akan semudah itu mengenalimu. Kamu tahu indra seseorang akan semakin peka saat yang satunya rusak? Ya, aku bisa mengingat suara dengan sangat baik sejak aku tak bisa melihat selama kurang lebih sembilan tahun."

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang