Bagian 4

2.7K 123 5
                                    

Meski Nala bilang ingin menungguku sampai kencanku selesai. Bolehkan aku sebut ini "kencan"? Tapi aku menolaknya, rasanya tidak nyaman kencan ditunggu orang lain. Akhirnya Nala pulang. Rumahku memang sudah pindah sejak lama, tapi aku masih ingat benar taman inilah tempat kami suka bermain bersama dulu. Rumah di dekat taman sebelah kiri sana itu dulunya rumahku dan sebelahnya rumah Rama. Tapi semenjak Ayah Rama pindah ke Austria rumahnya dijual, dan lima tahun setelahnya rumahku pun dijual karena ayah ingin rumah yang lebih dekat dengan kantornya.

Tamannya masih seindah dulu. Pohon mangga besar di tengah taman juga masih ada meski sedang tidak berbuah. Dulu Rama sering naik pohon mangga itu untuk mengambilkan mangga yang sudah masak untukku. Rama juga pernah mengajarkanku naik sepeda roda dua di sini. Aku pernah terjatuh dari ayunan di taman ini dan Rama menggendongku yang menangis di punggungnya hingga sampai rumah. Ah, sudah 12 tahun tapi semua kenangan kami masih bisa kuingat dengan sangat baik seolah aku kembali ke masa itu.

Sepertinya aku memang datang terlalu cepat. Aku memutar pandangan hanya tampak beberapa pengasuh anak-anak yang sedang menyuapi makanan balita di pangkuannya, dan seorang kakak laki-laki yang mengayunkan adik perempuannya di ayunan. Tenggorokanku terasa kering, saking buru-burunya aku ingat belum minum air putih sejak selesai syuting. Sampai rumah aku menghabiskan satu jam lebih untuk memilih baju dan merias wajah. Aku mengambil cermin di tas, rasanya dandanku masih sempurna.

Tapi... di ujung dekat sebuah batu besar aku seperti melihat sesesok laki-laki yang kukenal. Jaket abu-abu dengan penutup kepala, tubuh tinggi dan cara berdiri yang terasa familiar. Tangannya di masukan dalam saku celananya dia menghadap ke samping aku tidak terlalu jelas mengenalinya. Apakah itu si cowok tetangga sebelah? Ah, tidak mungkin kan? Tempat ini cukup jauh dari apartemen. Tiba-tiba aku terpikir bahwa dia adalah Rama, dan jantungku berdebar dengan kecepatan penuh.

Aku melangkahkan kakiku ingin mendekat dan memastikannya. Meski tidak yakin, entah mengapa aku merasa laki-laki yang berdiri di sana adalah si cowok tetangga sebelah apartemenku yang berinisial R. Apakah R artinya Rama? Aku memegangi dadaku yang berdebar makin kuat hingga rasanya ingin meledak. Tapi baru saja aku dua kali melangkah pelan dan ragu, di saat yang sama laki-laki itu melambai tangan ke arah taksi yang lewat dan masuk ke dalam taksi yang kemudian berjalan meninggalkan taman ini. Aku menghembuskan napas berat. Dia bukan Rama. Mungkin hanya orang lewat, dan secara kebetulan potongan tubuhnya mirip si tetangga sebelah itu.

Degub jantungku mulai tenang kembali.

"Hallo Shinta, sudah lama di sini?" Terdengar suara dari belakangku. Suara laki-laki dewasa. Jantungku yang tadi tenang tiba-tiba berdebar tanpa aturan lagi. Apakah itu Rama? Ah, aku belum sempat memulas lipbalm rasanya bibirku kering.

Aku masih belum berani menoleh. Tapi kemudian terdengar suara kaki yang bergerak, sekarang laki-laki pemilik suara itu sudah ada di hadapanku.

"Rama?"

Dia tersenyum padaku.

Aku membeku.

Aku tidak tahu harus menggambarkannya bagaimana, tidak tahu harus menggunakan kata-kata apa. Dia sangat tampan. Sesuai harapanku. Senyumnya manis, tatapan matanya lembut, pakaiannya rapi dan wangi parfumnya sangat menenangkan. Tidak menyesal aku menunggunya 12 tahun.

"Maaf bikin kamu nunggu dipertemuan pertama kita setelah 12 tahun."

Aku buru-buru menggeleng, "Nggak kok, aku juga baru sampai beberapa menit lalu." Aku berbohong, aku sudah di sini hampir setengah jam.

Begitulah saat-saat awal pertemuan kami kembali setelah berpisah dua belas tahun. Kami banyak berbincang-bincang. Rama menceritakan banyak hal soal sekolah musiknya di Austria. Dia juga memujiku karena sekarang aku sudah menjadi gadis yang cantik. Aku tahu itu hanya sedikit basa-basi gombal biasanya saat laki-laki bertemu wanita yang sudah lama tidak dia temui. Tapi entah mengapa aku menyukainya, meski aku tahu Rama hanya berbasa-basi. 

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang