Bagian 8

2.4K 119 6
                                    

Tisu bertebaran di lantai, aku dan Nala seperti sedang balapan mengeluarkan air mata paling banyak. Kata Nala ini terapi. Terapi patah hati itu harus banyak nangis biar cepat capek dan malas mengingat-ngingatnya lagi. Kami hampir menghabiskan satu kotak tisu semalaman ini. Aku melirik jam dinding di kamarku. Sudah hampir pukul tiga pagi.

"Kenapa Han Min Woo pas main gitar lama-lama jadi kelihatan mirip Rama sih, Nala? Huhu.... Aku malah jadi tambah sedih dan ingat dia terus... kayaknya terapi ini bakal gagal!"

"Apanya yang mirip? Giginya? Nggak mirip ah! Duh, aku udah capek nangis. Padahal nonton film ini keenam kalinya tetap aja nggak bisa nggak nangis. Shim Chang Min masa kamu nggak ingat sama Mimi sih! Huhu...."

"Han Min Woo, bukan Shim Chang Min!"

"Aaa...Shim Chang Min nama aslinya."

"Tapi lebih bagus Han Min Woo, lebih seksi namanya."

"Terserah! Terserah!"

"Duh, kasihan ya Mimi, berkorban sampai segitunya tapi Min Woo tetap nggak ingat sama dia, nggak bisa melihat dia. Malah dekat sama cewek lain pula, huh, dasar laki-laki!"

"Ya nggak bisa lihat lah, kan Miminya udah jadi hantu."

"Iya, kenapa sih harus jadi hantu? Kenapa sih cinta selalu nyusahin kayak gini? Huhu...."

Sudah hampir empat jam kami marathon menonton Mini Drama Korea berjudul Mimi. Nala bilang aku harus punya alasan buat nangis sampai capek. Dan dia maksa nonton Drama Korea ini. Awalnya malas, tapi karena episodenya cuma empat jadi aku mau nonton. Nggak nyangka kalau aku jadi nangis sampai begini. Mungkin terbawa suasana juga, hatiku sedang hancur karena si Rama menyebalkan itu!

"Ah, akhirnya tamat juga, meski mereka nggak bisa bersatu tapi ini bisa disebut happy ending kan ya?"

"Mana bisa happy ending  tapi nggak bisa bersatu! Ini sad ending!"

"Terus kamu maunya gimana? Si Min Woo mati juga? Terus mereka bahagia selamanya setelah jadi hantu dua-duanya?" 

"Abisnya aku nggak suka kalau akhir cerita dua karakter yang saling cinta nggak bisa bersatu. Ah, semoga aku dan Rama nggak berakhir kayak gitu." 

"Ngomong-ngomong aku lapar nih. Kamu ada mi instan?"

"Duh, nggak ada stok mi instan. Aku ke mini market lantai bawah dulu deh ya?" Aku mengambil jaket dan masih memakai piama.

"Aku aja yang ke mini market, kalau ada yang ngenalin kamu gimana?"

"Nggaklah, udah dini hari gini. Kamu tunggu di sini aja." Aku buru-buru ke luar apartemen. Menuruni lift, gedung apartemen terasa sangat sepi dini hari begini. Agak horor sih, apa karena film tadi sedikit berbau hantu, meskipun nggak seram? Aku mempercepat langkah ke lantai satu, belok ke lorong sebelah kanan menuju pintu mini market.

Mungkin sedikit aneh ya, ke mini market dengan celana tidur, jaket dan kacamata hitam. Kasir mini market yang seorang wanita berambut pendek, usianya mungkin sekitar delapan belas tahun, menatapku dengan heran. Aku mengangguk ke arahnya dan buru-buru menuju ke rak mi instan. Aku berhenti sejenak di rak jus buah kemasan, mengambil yang rasa mangga, dan memasukkannya ke dalam keranjang.

Aku menunduk di dekat rak mi instan, ada macam-macam rasa. Kira-kira Nala suka rasa apa ya? Kalau aku suka rasa kari ayam. Awalnya aku pengin beli sereal tapi rasanya mi instan lebih enak. Hm... mungkin nggak apa-apa, sudah lama nggak makan mi instan, nggak mungkin langsung gemuk kan? Aku menurunkan sedikit kacamataku supaya bisa membaca label kemasannya dengan lebih jelas, mengecek tanggal kedaluwarsanya juga.Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarikku hingga aku berdiri secara paksa. Aku buru-buru memakai kacamataku dengan benar.

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang