Bagian 10

2.3K 106 6
                                    

"Halo, Mbak Mawar." Aku menepuk lembut sosok wanita cantik yang sedang serius membaca majalah di kursi taman.

"Hai, Shinta.Oh, ada Nala juga." Dia menutup majalahnya.

"Halo Mbak,lama nggak ketemu ya. Dua belas tahun?"

"Ahaha... iya,dulu kalian suka main sama-sama waktu kecil. Yuk, masuk dulu. Shinta pasti cari Rama ya?"

Kami berjalan bersama memasuki ruangan. Di dalam tampak sepi mungkin karena hari sudah menunjukan pukul lima sore pasti murid-murid kelas musik juga sudah pada pulang. Mbak Mawar dengan gayanya yang ceria dan ramah membahas macam-macam hal. Kebanyakan mengenang masa kecil kami berdua. Mbak Mawar lebih akrab dengan Nala karena mereka seumuran. Sedangkan aku lebih sering bermain dengan Rama, meski Rama usianya lebih tua dariku tapi dia tidak pernah menolak diajak bermain denganku.

Setelah izin ke belakang sebentar. Mbak Mawar datang lagi membawa minuman dan camilan. Kini di meja kami ada tiga cangkir teh camomile dan sepiring biskuit.

"Kayaknya aku nggak bisa lama-lama deh," Nala melirik jam tangannya, dia ada janji dengan tunangannya jam tujuh malam nanti.

"Ah, padahal aku masih kangen pengin gosip-gosip sama kamu, La."

"Hehe...gampang Mbak, kita atur waktu buat gosip sampai pagi."

"Sip! Sip! Oh ya, Shinta masih di sini kan? Nunggu Rama. Duh, itu anak ke mana ya? Padahal Mbak sudah ingatin jam lima Shinta mau datang les musik. Dia malah ngilang."

"Iya Mbak, Shinta masih di sini nunggu Rama. Nggak apa kok Mbak, mungkin masih di jalan."

Mbak Mawar mengantar Nala sampai ke depan, aku menikmati teh camomile buatan Mbak Mawar. Harusnya teh ini bisa menenangkan pikiranku yang sedang bercabang ke sana kemari membayangkan di mana Rama sekarang. Apakah sedang bersama seorang perempuan? Gadis yang menelepon tempo hari dan membuat Rama meninggalkanku? Falia? Ah, siapa juga itu Falia, menyebalkan! Tehcamomile-nya gagal menenangkan perasaanku.

"Lama ya, Ta?" Mbak Mawar sudah duduk lagi di sebelahku.

"Kamu tunggu di ruang musik saja. Kebetulan Mbak mau pergi sebentar. Mau jemput bunda nih minta di antar ke rumah temannya ada arisan katanya. Sebentar kok, Mbak cuma ngantar aja. Nggak apa-apa Mbak tinggal dulu?"

"Nggak apa-apa Mbak, aku nanti tunggu di ruang musik aja. Salam buat Tante Lestariya, Mbak."

"Oke. Pintu dan gerbangnya Mbak kunci aja ya. Rama bawa kunci cadangan kok." Mbak Mawar mengambil tas tangannya dan berjalan ke luar. Aku menemaninya sampai depan pintu. Setelah mobilnya keluar gerbang, aku menutup semua pintu, dan naik ke lantai dua. Ruang musik khusus yang sering dipakai Rama dan Mbak Mawar secara pribadi. Ada piano, keyboard, biola, gitar dan drum. Ah, ada angklung juga.

Aku melirik jam tangan, sudah hampir sepuluh menit aku di sini sendirian. Rama mana sih? Apa jangan-jangan dia lupa? Aku sudah mengiriminya pesan singkat, hanya terkirim dan tidak ada balasan apa-apa. Bosan juga hanya duduk di sofa dan memandangi alat musik. Aku berjalan melihat-lihat alat musik lain. Ada beberapa alat musik tradisional, tapi kebanyakan aku tidak tahu namanya. Duh, malu-maluin saja padahal aku orang Indonesia. Aku cuma tahu angklung karena waktu sekolah pernah ada di pelajaran seni musik.

"Omong-omong gimana cara maininnya, ya?" Aku bergumam sendiri. Aku mengambil salah satu angklung yang digantung di dinding. Menggoyang-goyangkannya. Dulu memang pernah belajar saat masih sekolah dasar, tapi sekarang sudah tidak ingat lagi. Aku menggoyang-goyangkannya beberapa kali tapi rasanya nada yang keluar sama saja. Suara bambu yang beradu itu benar-benar terasa magis sekaligus merdu. Meski tidak bisa menciptakan nada apa pun, aku seolah ketagihan menggoyang-goyangkan angklung di tanganku ini.

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang