Bagian 14

2.6K 117 13
                                    

Sudah hampir dua puluh menit aku menunggu Nala di depan stasiun radio, dia memang bilang akan telat menjemput karena urusan mendadak. Tapi ini agak membosankan, telatnya cukup lama. Aku mulai gelisah hanya dudukdi lobby sendirian. Majalah di tangan rasanya sampai sudah bosan aku bolak-balik beberapa kali.

Nala Calling....

"Halo Ta, sorry banget. Kamu masih di sana kan?"

"Ya iyalah, apa aku punya pilihan lain selain nunggu kamu jemput? Udah dua puluh menit. Ada urusan apa sih, La? Atau aku pulang naik taksi aja?"

"Nggak, nggak, jangan, bentar lagi aku jemput kok. Kamu tunggu di luar aja."

"Hm... berapa lama lagi?"

"Tenang aja, nggak sampai dua belas tahun nunggunya. Hehehe...."

"Nalaaa!!!"

Telepon terputus bersamaan dengan derai tawa Nala. Setelah pamit dengan beberapa orang aku berjalan ke luar memutuskan untuk menunggu di luar saja. Aku juga lumayan lapar, sudah hampir jam dua belas siang. Aku berjalan malas ke arah depan gedung. Apa lebih baik aku menunggu Nala di restoran? Ah, tiba-tiba teringat Rama waktu tiba-tiba menghampiriku di depan kedai kopi saat Rama palsu itu tidak menjemputku. Seandainya tiba-tiba Rama muncul dan menjemputku sekarang. Ah, tidak, tidak! Aku ini mikir apa sih!

Tin... tin....

Sebuah mobil sedan hitam menepi ke arahku. Kaca jendela mobil terbuka, seorang laki-laki dengan tatapan mata yang lembut mencondongkan wajahnya ke arahku lewat jendela mobilnya.

"Hai, Shinta."

"Dokter Janu?"

Ah, ini pasti akan-akalan Nala!

Nggak mungkin dia tahu aku ada di sini selain karena Nala yang memberitahu. Aku harus bilang berapa kali padanya, aku tidak tertarik menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun dulu. Tapi... kalau tidak ikut mobil ini aku bisa-bisa semalaman di sini.

"Bareng?"

"Apa nggak merepotkan?" Aku sedikit berbasa-basi. Dokter tampan itu menggeleng, dan langsung keluar dari mobilnya untuk membukakanku pintu.

"Mau langsung pulang atau... gimana kalau makan siang dulu?"

"Duh, saya jadi nggak enak. Apa Nala yang minta Dokter jemput saya?"

"Panggil Janu saja kalau di luar rumah sakit. Nggak perlu terlalu formal. Iya, tadi ketemu Nala di rumah. Kebetulan ibuku yang mengurus katering untuk pernikahannya."

"Ah, begitu ya?"

Kami mengobrol ringan selama perjalanan. Meski terlihat sedikit kaku ternyata Dokter Janu cukup menyenangkan. Kami masuk ke sebuah restoran untuk makan siang. Dilihat dari mana pun Dokter Janu akan mudah membuat banyak wanita jatuh hati. Senyumnya, tatapannya, cara bicaranya.

Awalnya aku pikir dia terlalu sempurna, tapi ternyata sedikit ceroboh. Setelah selesai makan siang, ternyata dia lupa membawa uang tunai di dompetnya. Dan restoran yang kami kunjungi sedang tidak bisa menerima pembayaran dengan kartu kredit. Wajahnya yang sejak tadi tampak cool  tiba-tiba berubah panik. Aku mati-matian menahan tawa.

"Ah, ini aneh banget. Di pertemuan pertama kita di luar rumah sakit justru aku dibayarin makan olehmu. Lain kali aku ganti ya Ta." Dia masih tampak kikuk.

"Udahlah, nggak apa-apa kok. Anggap aja, timbal balik karena Dok... eh, Janu sudah menjemput aku."

"Mungkin ini artinya kita harus ketemu lagi lain kali."

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang