Suara-Suara yang Terbungkam

59 3 1
                                    


Kebisuan menguar dari gedung putih tempat seorang gadis menjejakkan kakinya. Hari menjelang petang kala itu. Jam besuk telah usai, namun tidak ada salahnya kan menyempatkan datang. Apa pihak rumah sakit akan dengan tega mengusirnya yang telah jauh-jauh datang kemari. Semoga tidak.

Ia melangkahkan kaki ke ruang resepsionis. Peluh terlihat membanjiri dahinya. Ia mengejar kereta dengan tergesa-gesa sebelumnya. Dan syukurlah, ia akhirnya sampai juga ke tempat ini. Sebuah gedung putih yang terlihat berhawa dingin khas rumah tinggal para si sakit. Tidak ada hawa menyenangkan, namun di sinilah tempat yang paling tenang dari gangguan kebisingan kota ini. Setibanya jejak langkah gadis itu, ia segera bertanya dengan sopan. "Selamat malam. Maaf, di mana ruang" –sejenak kata-katanya terhenti, dia sedang berpikir lalu bertanya ruang di mana tempat orang yang dimaksud berada.

Resepsionis dengan setelan perawat itu segera membuka buku keramatnya. Ia mencari beberapa saat, kemudian menemukan sesuatu. "Oh silakan ke ruang Wijayakusuma."

"Dimana kah itu?"

"Lurus saja. Gang terakhir belok kanan lalu ruangan kedua, kamar nomor 3."

"Oke. Baiklah. Terima kasih." Senyum dimple gadis itu mengembang. Terlihat lega karena ia akan segera bertemu dengan orang itu.

"Maaf nona, jam besuknya sudah selesai. Sekarang waktunya pasien istirahat. Nona bisa datang besok pagi." Suster itu berbicara sopan, mencoba mengingatkan dengan peraturan yang ada.

Raut kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. "Tidak bisakah ijinkan saya melihat sebentar?" Gadis itu terlihat sedih.

Suster itu iba, namun peraturan tetaplah peraturan. "Maaf nona, ini kebijakan rumah sakit. Kecuali kerabat pasien, tidak boleh lebih dari jam besuk."

Gadis itu merasa tidak bisa lagi berpikir. Haruskah ia mencari penginapan dulu untuk beristirahat? Ia sudah tidak bisa mencari jalan keluar. Di saat itulah terdengar suara memanggilnya.

"Kak Irene!" Seorang remaja terlihat menghampirinya. Gadis remaja berambut kecoklatan itu berseru tampak begitu akrab dengannya.

"Eh Mia?"

"Kakak bagaimana bisa di sini?"

"Eum itu... Ya.." Irene tidak bisa menjelaskan. Ia hanya tersenyum tipis.

"Ah, bodohnya aku. Pasti karena Abang. Ayo kak..." Ia segera menyeret gadis itu. Suster terlihat bingung. "Dia keluarga kami, kakak iparku." Tanpa banyak bicara ia pun berlalu sambil menyeret Irene ke tempat seharusnya.

"Kakak kenapa tidak mengabari terlebih dahulu, kakak jauh-jauh dari Semarang ke sini kan susah. Kakak harusnya telepon aku saja." Mia terlihat mengoceh. Irene mengulum senyum.

"Tidak masalah adik kecilku." Gadis itu terlihat gemas.

Setelah melewati beberapa bangsal, mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu bertuliskan nomor tiga. Gadis itu menahan nafas. Di sanakah 'orang itu', orang yang selama ini ingin ia temui. "Abang ada di dalam. Ayo masuk, Kak."

Mia membuka pintu perlahan. Namun, gadis itu hanya terdiam. Ia masih belum siap. Meski demikian, kaki gadis itu telah menapak ke ruangan itu. Ruangan dengan bau rumah sakit yang khas, ah membuatnya pusing. Kini ia berada di dalam ruangan putih dengan korden biru kehijauan, dengan seorang lelaki berbaring tidak berdaya di tempat tidur. Irene tercekat.

Suara-Suara yang Terbungkam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang