Ayah Senja

29 4 0
                                    

Sebagai seorang pengamat. Banyak bicara tentu harus dikuasai selain paham materi. Kalau hanya banyak bicara, tapi pemahamannya kurang,  nanti disangka kayak kambing, kalau sudah dikasih makan baru diam. Begitu pun paham materi tanpa menguasai cara bicara nanti disangka gombal, dibuat lap orang lain mau saja.

Menjadi manusia memang agak ribet. Selain harus diseperti robotkan, kadang juga apa-apa harus rebutan.
Seperti waktu, kehidupan akan terus berjalan. Perputaran keadaan disadari bagi mereka yang hatinya merasa bertempat. Karena,  sebuah tempat akan menginggatkan seseorang tentang suatu masa. Bahkan, ada beberapa yang mengalami de javu ketika melihat sesuatu tak asing menempati bagian kecil pandangannya. Sebaliknya, perasaan sadar akan lenyap di hadapan kekurangterimaan pada sesuatu. Mungkin,  saja peluhnya membludak memenuhi volume hati dan pikirannya. Sehingga untuk berpikir sedikit tentang suatu keadaan sudah tidak memungkinkan lagi. Hari-harinya ditenggelamkan oleh perasaan menyesal dan kesal. Fokus perjalanan hidup hanya bagaimana supaya tak menemui sesal dan kesal. Kesana kemari mencari tempat tenang. Berenang tak sampai-sampai tujuan, karena yang dicari kesalahan dari semesta. Padahal,  puncak ketenangan didapatkan ketika seseorang tidak lagi menyusahkan yang sudah ditakdirkan; menerima dengan lapang, menyukuri yang sudah-sudah diberikan.

Beberapa hari berjalan, aku dilupakan oleh kesibukanku pada suatu penasaran tentang sepasang mata yang menyediakan halaman tempatku pulang. Aku membacanya dengan teliti, kedua matanya memberitakan kesepiannya pada kedua mataku. Kemudian, aku melihatnya lagi dari kedua matanya muncul bulan ketika terang-terangnya. Aku menafsirinya sendiri. Mungkin, kalau benar yang kulihat bulan, ia sedang benar-benar menginginkan seorang teman. Sebab, tak ada bulan yang betah merasa sendirian. Ketika malam hari, bulan membutuhkan kata-kata. Supaya ia betah terjaga. Bulan butuh nyanyian, sebagai bahan hiburan kepada dirinya sendiri.

Aku ingin beradab di hadapan wanita. Karena yang wanita butuhkan ialah memahami dirinya. Seperti kata penyair Palestina,  Mahmoud Darwish "salah satu adab mendengarkan wanita adalah dengan menyimak sepasang matanya terlebih dahulu".

Pertama kali aku memandangnya ketika iseng-isengku dipatahkan oleh jam kerja. Mungkin, ini bisa kulakukan lagi ketika menjelang senja. Mungkin, perempuan itu akan duduk-duduk du gazebo lagi sepulang kerja. Aku ingin menemuinya lagi, bukan karena apa, hanya untuk kembali mengarsir kembali sepasang matanya di ingatanku.  Setelah beberapa minggu hampir pudar. Untung saja, kalau masalah perempuan manis dan cantik,  ingatanku lama habisnya. Inilah keuggulanku daripada yang lain.

Ini sudah jam pulang kerja, dan benar saja perempuan itu tidak lekas pulang. Ia masih duduk menikmati senja. Aku mencoba mendekati, alih-alih menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan. Kan tidak baik, mendapat kenikmatan tanpa disebarluaskan.
"Mbak, bolehkah saya duduk di sini?" Sambil klesik-klesik membersihkan tempat untuk duduk. Aku meniup debu-debu itu.
"Silakan." Ia menjawab sepatah tanpa menggubris keberadaanku.
"Kulihat,  setiap sore kamu selalu duduk disini, sambil memandangi langit. Ada apa?"
Ia terdiam. Kembali kutanyakan.
"Mbak. Mireng?"
Kulihat, ia menghela napas panjang. Kemudian ia bercerita. Aku melihatnya seperti terpaksa. Mungkin,  karena risih atas keberadaanku disini.

"Sejak kecil aku bersama ibuku berada di tengah alas. Aku bermusik gesekan bambu, burung-burung berkicau. Kalau sore tiba,  aku hanya melihat daun-daun pohon besar yang semakin tidak terlihat sebab dirampas waktu malam. Aku hanya bersama ibuku, yang hari-harinya dihabiskan merawat dan menjaga tumbuhan. Hanya disini aku bisa melihat rona langit yang indah. Hatiku damai, duniaku bewarna cerah. Aku menyadur langit yang indah itu  untuk kuhabiskan ketika malam nanti."

Aku tidak pernah merasakan dunia luar, di luar alas memandangi langit ini. Kulitku bewarna kuning kegelapan, pertama kali ketika aku melakukan pekerjaan memandangi langit di sore hari kulitku berubah kuning cerah. Aku melihat warna langit seperti warna api--yang kurasakan ketika aku mendekati api, tubuhku kepanasan. Tapi, ketika aku berlama-lamaan disini sambil memjamkan mata, serasa kehangatan seperti dipeluk langit. Kalau bisa kuambil rona kuningnya, mungkin sudah kukantongi. Akan kutempatkan di pigora sebelah foto ayahku. Aku membayangkan seorang betapa hangatnya bersama seorang ayah seperti sekarang yang kurasakan. Sayangnya,  sekali pun belum pernah kurasakan. Sejak kecil aku hanya bersama ibu, diasuh oleh kehidupan. Tidur berselimutkan kesepian, dengan cahaya dari wajah ibuku yang membuatku tenang di tidur malamku.
"Apa kamu tahu apa nama langit kekuningan itu?" Tiba-tiba perempuan itu bertanya padaku dengan penasaran. Kudengarkan dari jenis nada tanyanya yang agak melengking tinggi di akhirnya. Ah,  kalian semua pasti tahu jenis nada seru, nada peringatan,  nada tanya. Pikirku, kalau perempuan ini iseng-iseng juga tidak mungkin. Sebab, kulihat alisanya agak meninggi pinggirnya. Selain itu, setelah kudengarkan dari ceritanya ia memang baru-baru ini melihat senja ini. Aku sendiri sempat tidak percaya mendengar ceritanya. Bagaimana mungkin, langit seluas ini acuh bersikap adil kepada manusia, apalagi kepada seorang perempuan. Kalau memang benar. Mungkin, langit sedang menyiapkan surprise kepada seseorang. Lawong, nyatanya sekarang juga sudah dipertemukan. Sebelumnya, langit sudah tahu pastinya, kalau seorang perempuan tanpa suatu perhatian, akan lebih muram daripada mendungnya. Petir yang terdengar gemelegar tak lebih keras suaranya. Hujan badai tak lebih memporandakan ketimbang diamnya. Ah,  sekali lagi, mungkin langit akan ketakutan sendiri mendengar berita perempuan kesepian. Maka setiap juni akan turun hujan, sebagai peringatan atas berdukanya perepmuan-perempuan. Kemudian langit mengirimkan hujan, supaya tangis air mata seorang perempuan kesepian tidak begitu terlihat. Seperti kata Eyang Sapardi "Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni.  Dibiarkannya yang tak terucapkan. Diserap akar pohon bunga itu."

"Itu namanya senja. Sedari tadi kamu bercerita. Aku belum tahu namamu."
"Namaku Siti Saroh. Orang-orang biasa memanggilku Sariyem. Nama yang disematkan dari nama ibuku, Sariyem Sastro Wijoyo... Oh,  namanya senja. Apa mungkin ayahku seorang senja, ya? Karena setiap aku melihat senja seperti terasa dekat."
"Namaku Mughis Altarkani."
Aku nerocos mengenalkan namaku, meski ia tidak menanyakan. Dobolnya, ia diam saja tidak mempedulikan. Untuk basa-basi menanyakan mengapa harus altarkani saja tidak. Padahal,  aku sudah menyiapkan jawabannya. Ah, perempuan memang serahasia itu, tak bisa ditebak jalan pikirannya.
Selanjutnya yang agak membuatku repot, ketika perempuan bernama Sariyem ini merasa ayahnya adalah senja. Ono-ono wae. Aku terus kepriye menjelaskan kemusykilan itu. Kemudian ia meneruskan ceritanya.

"Sejak kecil aku berteman dengan kesendirian. Aku hanya bersama ibuku saja. Teman-temanku kecil yang ada pindah sekeluarga dari desaku. Ada semacam ketakutan dari para orang tuanya. Ia tidak ingin anaknya akrab, apalagi suatu ketika sampai mencintai dan menikah denganku. Karena,  kata orang-orang aku punya semacam kutukan, siapa yang berteman dan hidup bersamaku akan menerima bala',  kesusahan."
Seketika bulu romaku sengkring-sengkring  mendengar ini. Aku mencoba memberanikan,  meyakini. Tembung jare adalah tembung sing digawe-gawe. Ada salah ada benarnya. Tapi rasanya tidak mungkin. Tuhan sewelas asih,  sebijak dan seberkuasa itu menciptakan perempuan dengan segala kesialannya. Tapi,  kalau dipikir-pikir,  beberapa bulan sudah melihat dan pura-pura mengenalnya juga tidak ada yang terjadi sebuah kesialan. Justru semangat kerjaku bertambah giat.

Aku melihatnya begitu tenang ketika menceritakan kehidupannya. Sekalipun kepada orang yang baru dikenalnya, seperti aku. Semoga saja tak ada apa-apa padaku. Aku hanya membantu. Mungkin,  kehadiranku bisa menjadi jalan selesainya kesedihan-kesedihan. Sementara pembicaraan kami terlalu lama. Hari hampir maghrib. Ia menyudahi dan ingin segera pulang, katanya ibunya sudah menunggunya untuk berjamaah bersamanya.
"Mungkin,  besok-besok kalau semesta membuatkan pertemuan lagi,  kita bisa bercerita lebih lama lagi. Terima kasih, Mas Ghis. "

Obituari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang